MEMBANGUN KESADARAN BERZAKAT MELALUI LEMBAGA
Allah SWT. Menurunkan Islam sebagai agama yang sempurna
merupakan sebuah berkah tiada terhingga kepada kita. Nabi Muhammad sebagai
Rasul terakir merupakan teladan sempurna dalam menjalankan agama Islam. Umat
Islam adalah umat yang mulia, terpilih untuk mengemban risalah agar menjadi
saksi atas segenap umat dan bangsa. Tugas umat Islam sebagai khalifah di muka
bumi agar terwujudnya kehidupan dunia dan yang adil dan makmur di manapun
mereka berada. Karena itu, umat Islam
seharusnya menjadi rahmat sekalian alam.
Melihat kenyataan umat Islam kini jauh dari kondisi ideal,
adalah sebagai akibat belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri (QS. Ra’d[13]: 11). Salah satu pokok ajaran Islam yang masih terasa
belum optimal adalah permasalahan menanggulangi kemiskinan dengan
mengoptimalkan potensi pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqoh
(ZIS).
Makna zakat secara terminologis berarti mengeluarkan
sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok
tertentu (mustahiq) dengan persyaratan tertentu pula. Salah satu aspek penting
dalam pelaksanaan penghimpunan dan pendayagunaan zakat adalah pentingnya
kesadaran umat untuk berzakat melalui lembaga. Masih berkembangnya pemehaman di
tengah masyarakat bahwa zakat itu lebih afdhal dan lebih baik apabila muzakki
menyalurkan langsung zakatnya kepada para mustahik, tanpa melalui perantara
amil. Sebagian masyarakat bahkan merasa bahwa penyaluran langsung ini lebih
efektif, karena mereka bisa melihat kondisi riil para penerima zakat.
Dengan pemahaman seperti ini, maka praktek membagi-bagikan
uang kepada ribuan mustahik yang mengantri, masih kerap terjadi. Meski
menyalurkan langsung ini tidak dilarang, namun misi zakat untuk mengentaskan
kemiskinan akan sulit terwujud. Juga dari sisi kemanusiaan, praktek tersebut
kurang manusiawi dan cenderung merendahkan harkat dan martabat mustahik. Dengan
pola seperti ini, maka dampak dari penyaluran zakat hanya akan bersifat jangka
sangat pendek. Adapun tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, yaitu memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan daya tahan perekonomian mustahik, bahkan
mentransformasi mereka menjadi muzakki, akan sangat sulit dicapai.
Allah SWT berfirman : “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka…” (QS. At-Taubah: 103).
Kalimat pertama ayat diatas secara jelas kita bisa fahami
bahwa ada orang diantara umat Islam yang diperintahkan untuk mengambil zakat
dari kalangan berada diantara orang Islam. Ketika perintah ini diartikan setiap
bagian dari mustahik, maka akan muncul kekacuan pemahan dikalangan umat Islam.
Ayat di atas akan rancu ketika dipahami mengambil harta orang lain tanpa izin
pun dibenarkan ketika itu mengambil hak mustahik.
Lebih lanjut Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ‘amil
(pengurus-pengurus zakat) , para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).
Ketika menyebutkan berbagai ashnaf, Allah menyelipkan bagian
bagi ‘amil (pengurus-pengurus zakat). Pengurus zakat merupakan kepanitiaan,
kelompok, lembaga. Dalam undang-undang perzakatan nomor 23 tahun 2011 hasil
Judicial Refiew, mahkamah konstitusi memberikan putusan bahwa yang boleh
mengumpulkan dan mendayagunakan zakat adalah BAZNAZ, LAZ dan orang atau kelomok
yang mendapat izin atau memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud
kepada pejabat yang berwenang.
Jika merujuk kepada apa yang telah dipraktekkan oleh
Rasulullah SAW, tidak pernah ada contohnya di zaman Nabi, seorang muzakki
menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik tanpa melalui amil.
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa memberikannya (zakat) karena berharap
mendapatkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan
mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), ….” (HR. Nasa’i). Dengan
kalimat ‘kami akan mengambilnya” menunjukkan rasulullah sebagai kepala
pemerintahan memberikan tugas khusus bagi suatu lembaga pemungut zakat.
Pendapat Yusuf Qardhawi Dalam kondisi pemerintah mengalami
problem sehingga tidak dapat mengelola zakat dengan baik, Zakat dapat dikelola
oleh lembaga Amil zakat yang dibangun masyarakat. (Eri Sudewo, Manajemen Zakat,
Hal 24).
Menurut Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, munculnya praktek
penyaluran langsung itu mulai terjadi pada masa transisi kekuasaan dari
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA kepada Dinasti Umayyah. Abu Ubaid mengutip
pernyataan Ibnu Umar, ketika ditanya oleh masyarakat, mengatakan bahwa apabila
terjadi situasi yang bersifat chaos, dimana terjadi instabilitas pemerintahan
akibat konflik ataupun kudeta politik, maka menyalurkan zakat secara langsung
kepada mustahik diperbolehkan.
Dalam konteks kekinian, situasi chaos ini dapat kita
terjemahkan sebagai suatu keadaan dimana di suatu daerah, tidak terdapat sama
sekali institusi amil zakat, baik BAZNAS maupun LAZ (Lembaga Amil Zakat). Dalam
situasi seperti ini, maka seseorang bisa langsung menyalurkan zakat kepada yang
mereka membutuhkan tanpa melalui amil.
Sebaliknya, apabila situasi yang terjadi adalah bersifat
normal, maka mengkonsolidasikan penghimpunan dana pada lembaga amil, menjadi
satu hal yang perlu untuk dilakukan umat ini. Karena itu, dalam QS 9 : 60,
Allah SWT secara eksplisit telah menegaskan keberadaan amil, sebagai lembaga
yang menjalankan fungsi intermediasi antara muzakki dengan mustahik.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi intermediasi ini sangat menentukan pencapaian
tujuan ibadah zakat itu sendiri. Wallohu a’lam.
*) Ditulis oleh Ade Ipan Rustandi, S.Ud.; Staf Pendayagunaan
PZU Perwakilan Cianjur
Sebarkan melalui →