Oleh: Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. *)
Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : “telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: Hai golongan orang-orang muda ! siapa-siapa dari kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan; dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu benteng bagimu”. (Muttafaq ‘alaih).
Al-Qur’an menyebutkan kata “nikah” sebanyak 23 kali yang berarti “menghimpun”. sedangkan kata “zawwaja” terulang tidak kurang dari 80 kali yang berarti “pasangan”.
Pernikahan merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk :
“Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah)” (al-Zariyat 51:49).
Perpasangan merupakan fitrah, sehingga Islam mensyari’atkan dijalinnya pertemuan yang membawanya pada pernikahan agar mengalihkan kegundahan, kerisauan menjadi ketetraman dan ketenangan yaitu sakinah. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/ tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih akan tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah karena pernikahan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.
Di dalam Al-Qur’an surat al-Rum 21 dinyatakan :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikann-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kamu yang mau berfikir”.
Adapun perekat pernikahan adalah mahabbah (cinta), mawaddah, rahmah dan amanah Allah. Sebagai Tali temali ruhani perekat pernikahan, cinta diisi mawaddah disusul rahmah dan dilengkapi dengan amanah.
Mawaddah tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus, tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Al-Qur’an menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi
“Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka” ( al-Baqarah 2: 187)
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri yang masing-masing menurut kodratnya memilki kekurangan harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya, sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan pemakainya).
Amanah. Pernikahan adalah amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya
“Kalian menerima istri berdasar amanah Allah”
Amanah adalah suatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaanannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.
Istri adalah amanat di pelukan suami, suami pun amanah di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami demikian juga istri tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.
Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki asing yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai al-Qur’an mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (al-Nisa 4:21).
Rumah tangga teladan adalah rumah tangga yang didirikan di atas landasan taqwa. Dengan mengikuti al-Qur’an dan Sunnah serta menjadikannya sebagai dasar keputusan bagi suami-istri dalam menghadapi segenap permasalahan.
Adapun ciri-ciri rumah tangga teladan : Rumah tangga teladan itu lapang dalam segala seginya, baik secara moral maupun material, yaitu jauh dari sikap boros dalam segala kehidupan. Rumah tangga teladan senantiasa memperhatikan kebersihan ruhani dan jasmani. Rumah tangga teladan berdiri di atas pondasi yang kuat berupa ketenangan, cinta dan kasih sayang jauh dari kebisingan dan keributan. Rumah tangga teladan senantiasa memberikan tempat tidur bagi anak-anaknya. Rumah tangga teladan adalah anggota-anggotanya saling bekerjasama dalam mengerjakan setiap pekerjaan. Rumah tangga teladan sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, baik pendidikan fisik, akal, ruhani dan masalah psikologis.
Adapun teladan suami dan istri dijelaskan sebagai berikut : Nabi sebagai suami dengan kewibawaan dan kharismanya tidak menjadi penghalang untuk bergurau dan bercanda. Nabi sering membantu pekerjaan istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Nabi senantiasa setia kepada istrinya. Nabi senantiasa bijaksana sikapnya terhadap istrinya. Nabi bersikap adil kepada istrinya dengan senantiasa menampakkan senyum dengan penuh kelembutan. Suami teladan berkata jujur, pandai bergaul, bersikap santun, memelihara rahasia keluarganya dan selalu gagah dan tampan di depan istrinya. Istri teladan adalah istri yang senantiasa tampil dengan rapi dan bersih di depan suaminya dan menjaga kebersihan. Istri teladan adalah wanita yang taat kepada Allah dan menunaikan hak-hak suami. Memelihara harta, mendidik anak-anak dan memelihara rahasia keluarga. Istri teladan senantiasa rela menerima pemberian suami, baik sedikit maupun banyak.
Istri teladan pandai mengatur urusan rumah tangga dan membelanjakan harta dengan sebaik-baiknya. istri yang berakhlak baik, Istri yang pandai bergaul dengan pihak keluarga suami, Istri yang selalu menghormati perasaan suaminya, Istri yang selalu mensyukuri kebaikan suaminya.
Demikian sekilas penjelasan tentang tip keluarga sakinah dan bahagia
Wallahu a’lam bi al-shawab.
*) Penulis adalah Direktur Umum Pusat Zakat Umat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sebarkan melalui →