Oleh: Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. *)
Ramadhan telah menyediakan kesempatan bagi umat Islam di hadapan Tuhannya untuk meniti kehidupan yang lebih baik yaitu melalui puasa (shaum) sebagai bentuk riyadah (latihan spiritual), pendakian ruhani yang lebih agung. Shaum Ramadhan ibarat tangga spiritual yang telah tersusun anak-anak tangganya secara baik dan apik. Di antara anak-anak tangga itu adalah kebersihan dan keikhlasan niat, sikap defensif (imsak) terhadap perilaku dan pembicaraan yang jelek dan dusta, produktif beribadah shalat baik wajib maupun sunnat, banyak berdo’a, membangun kesadaran sosial (infaq, shadaqah dan zakat), membaca al-Qur’an dan beri’tikap di mesjid.
Pelaksanaan shaum bertujuan untuk mencapai derajat ketakwaan, yaitu agar umat Islam belajar melaksanakan apa yang diperintahkan dan menghindari perbuatan yang dilarang Allah SWT. karena itu, pencapaian derajat ketakwaan ditentukan oleh kemampuan menjaga diri dan meinternalisasikan sikap menahan (al-Imsak) yang tidak hanya menahan diri dari makan minum dan jima, tetapi menahan secara ekstra psikologis terhadap segala bentuk perbuatan dosa (munkar) dan tidak baik (fakhsya).
“Hai sekalian manusia, bertakwalah hanya kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Q.S. an-Nisa :1).
Ketakwaan merupakan alat kontrol yang paling efektif dan paling manjur bagi perbuatan dosa, karena itu ketakwaan melahirkan tanggung jawab (mas’uliyah, responsibility) seorang muslim baik terhadap dirinya, terhadap manusia dan terhadap Allah SWT. Landasan tanggung jawab sebagaimana tertuang dalam firman Allah Q.S. At-Tahrim : 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Kemudian hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw. Bersabda: “akan ada nanti orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan beberapa perkara yang kamu inkarinya, lalu para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah gerangan apa yang tuan perintahkan kepada kami ? Nabi menjawab : Tunaikanlah apa yang menjadi kewajiban dan mintalah kepada Allah akan hakmu itu “. ( H.R. Bukhari).
Ketakwaan yang menjadi tujuan utama mengantarkan seorang muslim untuk mempersiapkan dirinya mencapai kebahagiaan baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Bagi muslim yang melaksanakan shaum akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu : “kebahagiaan di waktu berbuka puasa dan kebahagiaan di waktu pertemuannya dengan Allah SWT”.
Kebahagiaan pertemuan dengan Allah merupakan puncak prestasi dari nilai ketakwaan yang telah diinvestasikan seorang muslim lewat amal sholehnya, seperti dalam Q.S. al-Kahfi : 110 :
“…Siapa yang berkeinginan untuk mendapatkan pertemuan dengan Allah, maka hendaklah melakukan perbuatan amal shaleh dan jangan sekali-kali berbuat syirik kepada Allah sedikit pun”.
Kebahagiaan di akhirat kelak tentu saja didapatkan setelah seorang muslim melakukan amal shaleh sebagai sebuah proses untuk mendapat derajat ketakwaan. Pertemuan dengan Allah di akhirat adalah dimensi teologis yang harus diimani oleh setiap muslim. Mengimani hari akhirat merupakan rukun iman yang kelima, dan setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya. Bagi mukmin yang takwa tidak akan menjadi hambatan dan beban yang berat, karena peristiwa nanti akan dijalani sebagai sebuah proses perjalanan spiritual yang pasti akan dialami. Di dalam hadits-hadits shahih diterangkan bahwa setelah dunia ini hancur, manusia yang di dalam kubur dibangkitkan dan semua akan dikumpulkan oleh Allah di padang Mahsyar. Setiap manusia akan menghadapi peristiwa tersebut dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang segala macam yang telah dilakukan selama hidup di dunia ini.
Pada hari itu yang akan bersaksi adalah tangan dan kaki manusia sedangkan mulutnya akan ditutup, “pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka ushakan.” (Yasin: 65) kemudian, nanti manusia akan diminta pertanggungjawaban atas semua amal perbuatannya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda : “Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba ( menuju batas Shiratul Mustaqim) sehingga ia ditanya tentang empat perkara, yaitu : umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia habiskan dan badannya untuk apa ia gunakan” (HR. al-Tirmizi dan al-Darimi).
Hadits ini menjelaskan tentang pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah untuk menjawab empat pertanyaan yang diajukan: Pertama, umur. Umur adalah nikmat yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Bagi seorang muslim, umur menjadi sarana penting untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT., dan tidak dibenarkan umur manusia dipakai untuk maksiat dan berbuat kejahatan yang melanggar aturan Allah SWT.
Di antara umur kita yang digunakan untuk beribadah adalah silaturrahmi, yang merupakan ibadah sosial. Secara naluri, manusia sebagai makhluk bermasyarakat, memerlukan komunikasi yang mesra dengan sesamanya. Komunikasi itu merupakan proses awal terjadinya kerja sama. Dalam istilah agama Islam, komunikasi lebih populer dengan sebutan silaturrahmi. Muhammad bin Ismail al-Kahlani menjelaskan bahwa silaturrahmi berasal dari bahasa Arab yang artinya hubungan keluarga yang bertalian darah. Dari arti itu, lalu beralih ke arti lain, yaitu menghubungkan sesuatu yang memungkinkan terjadinya kebaikan serta menolak sesuatu yang akan menimbulkan keburukan dalam batas kemampuan.
Cakupan silaturrahmi itu begitu luas. Ia tidak hanya menyangkut keluarga yang bertalian darah, tetapi juga hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Dengan demikian, silaturrahmi itu ada bermacam-macam: (1), silaturrahmi dengan diri sendiri, (2), silaturrahmi dengan sesama manusia, (3), silaturrahmi dengan yang seagama, dan (4), silaturrahmi dengan alam sekitarnya.
Adapun tingkatan-tingkatan silaturrahmi adalah sebagai berikut :
(1), berjabatan tangan (mushafahah). Tingkatan ini membwa manusia kepada sifat lapang dada (al-shafh) yang lahir dari sifat pemaaf (al-afw). Oleh karena itu, kata al-shafh dalam al-Qur’an biasanya didahului dengan kata al-afw seperti terlihat dalam surat al-Taghabun 64:14; al-Nur 24: 22; dan surat al-Maidah 5: 3 yang masing-masing berbunyi sebagai berikut :“Apabila kamu memaafkan dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah SWT. Maha Pengampun lagi maha penyayang” “Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada ! apakah kamu tidak hendak diampuni oleh Allah SWT.?.“Maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(2), saling memberi nasihat (tausyiah). Nasihat diarahkan kepada perwujudan kebaikan dan penghilangan kemaksiatan demi terbinanya kehidupan yang aman dan sejahtera, sebab “agama itu adalah nasihat”. Tingkatan ini menimbulkan terciptanya suasana kritik (al-naqd) yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat sehingga mereka tidak phobi dan anti terhadap kritik. Kritikan dijadikan sebagai saran dan masukan yang berharga menuju kemaslahatan.
(3), saling bekerja sama dan tolong menolong (al-mu’awanah atau al-musa’adah). Silaturrahmi tingkat ini dilaksanakan setelah melalui tahapan-tahapan silaturrahmi sebelumnya. Ia memungkinkan terjadinya dialog antara sesama manusia dalam rangka pemecahan berbagai persoalan kehidupan. Proses dialog akan melahirkan sikap harga–menghargai dan hormat–menghormati yang pada gilirannya akan melahirkan suasana demokratis.
(4), menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar. Dalam al-Qur’an, Allah SWT. Berfirman: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf (segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.) dan mencegah dari yang munkar (segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah), merekalah orang-orang yang beuntung “. (Ali-Imran 3:104).
Adapun manfaat atau kebaikan bersilaturrahmi adalah seperti digambarkan dalam hadits Rasululah saw. Dari Abu Hurairah dan dikeluarkan oleh al Bukhari :“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menghubungkan tali kekeluargaan “ Pengertian luas rezeki dalam hadits di atas adalah bahwa rezeki yang diterima itu menimbulkan berkah, baik bagi diri, keluarganya maupun bagi manusia dan alam sekitarnya. Panjang umur, menurut sebagian pendapat, mempunyai arti kiasan (kinayat) yang maksudnya adalah bahwa umurnya itu sarat makna dan nilai. Pendapat lain mengatakan bahwa panjang umur itu mempunyai arti yang sesungguhnya (al-haqiqi), yaitu umurnya ditambah sesuai dengan kehendak dan kemahakuasaan Allah SWT.
Sebaliknya, keburukan tidak bersilaturrahmi atau memutuskan silaturrahmi adalah tertutupnya pintu syurga. Dengan kata lain, orang yang memutuskan tali silaturrahmi tidak akan memasuki surga kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Nabi bersabda : “tidak akan masuk ke dalam syurga orang yang memutuskan tali persaudaraan” (Ibnu Hajar al-Asqalani, 330)
Kedua, ilmu, merupakan himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengujian dan dapat diterima oleh akal sehat, rasio atau dapat dinalar. Ilmu menjadi penting bagi umat Islam karena akan menjadi ciri keunggulan umat Islam dari umat lainnya, “dan sesungguhnya telah kami pilih mereka atas ilmu pengetahuan di atas bangsa-bangsa seluruh dunia (Q.S. Ad-Dukhan: 32).
Orang Islam yang berilmu berbeda amaliahnya dengan orang kafir dalam segala hal, dari mulai kebersihan, berpakaian, berumah tangga, bermu’amalah dan lain-lain. Seorang muslim diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar menuntut ilmu. Allah SWT berfirman : “ Apakah sama orang yang tahu (berilmu) dengan yang tidak berilmu “? (al-Zumar: 9).
Ayat ini mengandung perintah untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu agama Islam wajib hukumnya atas setiap individu muslim, karena mengerjakan ibadah dan amalan shaleh tidak berdasarkan ilmunya akan ditolak (man amila amalan laesa alaihi amruna fahua radd), dan seperti dalam firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihtan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjabannya” (al-Isra’:36).
Muslim yang menguasai Ilmu harus sadar bahwa ia adalah orang yang sedang mendapat titipan (amanah) dari Allah SWT. karena, sesungguhnya semua ilmu itu adalah milik-Nya, sehingga muslim berkewajiban untuk mengamalkan ilmu dalam konteks ibadah untuk kemaslahatan manusia.
Ketiga, harta. Harta adalah sesuatu yang manusia cenderung kepadanya dan mungkin disimpan untuk waktu keperluan. Manusia akan cenderung kepada harta karena memiliki daya tarik tersendiri, sehingga perlu untuk disadarkan bahwa status harta adalah anugrah Allah yang harus disyukuri, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentingan mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Luqman: 20).
Harta menjadi amanah Allah yang harus dipertanggung jawab oleh manusia sekaligus sebagai ujian yang harus diantisipasi, ”dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar”. (Q.S. Al-Anfal: 28)
Harta harus diusahakan dan dimiliki dengan cara yang bersih dan halal. Islam menghargai orang muslim yang bekerja keras, karena mencari rizki di dunia secara halal untuk menjauhkan diri dari jiwa pengemis, sebaliknya mencari harta yang haram akan mendapat kesengsaraan dan siksa, seperti sabda Rasulullah saw.: “Baransiapa yang dagingnya tumbuh dari barang yang haram, mka neraka itu lebih patut baginya” (HR. Hakim). Sayiddina Umar bin al-Khattab berkata : “ Janganlah seseorang dari kamu duduk bermalas-malasan dari mencari rizki seraya berkata : Ya Allah berikanlah rizki, sedangkan ia mengetahui bahwa langit tidak akan menghujankan emas dan perak.” Kemudian harta yang telah diusahakan dan dimiliki perlu dimanfaatkan bagi seluruh segi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun bagi kepentingan masyarakat.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa harta yang diperuntukkan kepentingan sosial masyarakat adalah berguna untuk mengatasi problem sosial ekonomi, karena menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan merupakan petunjuk kemasyarakatan yang terpenting, karena itu diwajibkan bagi muslim untuk menunaikan kewajiban zakat, infak maupun shadaqah. Dengan cara demikian kesulitan-kesulitan dan problem sosial akan dapat diatasi. Sasaran utama yang berhak mendapat bantuan yang bersumber dari zakat adalah 8 asnaf sebagaimana dalam Q.S. At-Taubah : 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”
Jika harta dipakai untuk kepentingan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah SWT, maka seorang muslim akan mampu mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti.
Keempat, Badan. Manusia diciptakan Allah SWT sebagai khalifah yang dilengkapi oleh struktur tubuh yang sempurna ditambah anugrah yang tak ternilai yaitu hati dan akal fikiran. Kesempurnaan jasmani manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Kedudukan manusia sebagai “duta” Allah SWT. akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT., tentang segala perbuatan yang dilakukan selama menjalani kehidupan di muka bumi ini, “ Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya. Kemudian manusia bertanya: “mengapa bumi jadi begini ?” pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan kepadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka, (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat atompun , misalnya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat atompun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula.” (al-Zalzalah:1-8).
Oleh karena itu, di padang mahsyar nanti seluruh manusia akan diminta pertanggungjawabannya atas segala hidupnya di dunia. Jika pertanggungjawaban manusia ditolak maka ganjarannya adalah neraka, dan sebaliknya jika pertanggungjawabannya manusia diterima, maka jaminananya adalah syurga. Di dalam QS. Az-Zumar : 71,73 Allah berfirman : “ orang-orang kafir dibawa ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai di neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya :” apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini ?. mereka menjawab: benar (telah datang). Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang kafir.” Dan oarang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya di bawa ke dalam syurga berombog-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penbjaganya: “kesejahteraaan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilah syuga ini, sedang kamu kekal di dalmnya.”
Jika manusia menyadari akan kedudukannya sebagai hamba Allah SWT sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi ini, maka seluruh seluruh aktivitas yang berkaitan dengan umur, ilmu, harta dan badannya akan diabdikan untuk Allah SWT semata. Dengan melaksanakan syaum selama sebulan di bulan Ramadhan, kita sesungguhnya sedang melatih diri untuk mempersiapkan diri menghadapi empat pertanyaan tadi di alam mahsyar. Saum sebagai ibadah yang menuntut keseriusan dan perjuangan untuk mencapai tangga ruhani yang telah disediakan Allah SWT. Mudah-mudahan kita berhasil mencapai puncak kesucian (fitri) dan termasuk orang-orang yang diridhai Allah SWT. Taqabbala Allah minna wa minkum syiamana wa syiamakum. Wassalamu’alaikum wr.wb.
*) Penulis adalah Direktur Umum Pusat Zakat Umat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sebarkan melalui →